QRIS Marak di Jatinangor Pedagang Mulai Beralih ke Nontunai
Perkembangan teknologi finansial di Indonesia beberapa tahun terakhir memang berlangsung pesat. Salah satu inovasi yang kini menjadi tulang punggung transaksi digital adalah QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Standar pembayaran berbasis kode QR ini memungkinkan berbagai aplikasi keuangan baik bank maupun e-wallet dapat digunakan secara universal. Jika dulu pembayaran digital hanya populer di kota besar, kini QRIS mulai menembus ke daerah-daerah dengan aktivitas ekonomi padat, termasuk Jatinangor, sebuah kawasan pendidikan dan bisnis yang terus berkembang di Kabupaten Sumedang.
Fenomena terbaru menunjukkan bahwa pedagang di Jatinangor, dari warung kecil hingga toko modern, semakin marak beralih ke nontunai. Dorongan utamanya datang dari kebutuhan akan transaksi yang cepat, aman, dan efisien, terutama karena mayoritas konsumennya adalah mahasiswa yang sudah terbiasa dengan sistem pembayaran digital.
Pergeseran dari Tunai ke Nontunai di Jatinangor
Sejumlah pedagang kecil mulai merasakan manfaat nyata dari QRIS. Dewi, seorang penjual minuman di kawasan Jalan Sayang, mengaku sudah menggunakan QRIS sejak akhir 2020. Menurutnya, perubahan ini sangat membantu dalam mengelola transaksi harian.
“Sekarang hampir semua pelanggan saya bayar pakai QRIS. Lebih cepat, dan saya tidak perlu repot menyediakan uang kecil untuk kembalian,” ungkap Dewi.
Cerita serupa datang dari Rudi, penjual makanan di sekitar kawasan Gerlam. Baginya, QRIS bukan hanya memudahkan saat melayani banyak pembeli, tetapi juga meningkatkan rasa aman.
“Saya merasa lebih nyaman, apalagi kalau sedang ramai pembeli. Pembayaran digital lebih efisien. Memang kadang ada kendala, misalnya dana belum langsung masuk, tapi semakin ke sini sistemnya makin baik,” ujarnya.
Tidak hanya dari sisi pedagang, konsumen juga semakin terbiasa dengan pola pembayaran digital. Riri, seorang mahasiswi Unpad, mengaku hampir tidak pernah membawa uang tunai.
“Biasanya saya bayar pakai QRIS, tinggal scan saja. Hampir semua pedagang di sekitar sini sudah pakai QRIS jadi mau beli apa saja lebih mudah,” katanya.
Testimoni ini menggambarkan perubahan nyata dalam perilaku konsumen dan pedagang di Jatinangor: tunai bukan lagi pilihan utama, melainkan sekadar cadangan.
Mengapa Pedagang Beralih ke QRIS?
Ada beberapa alasan mengapa pedagang di Jatinangor, mulai dari angkringan hingga toko modern, cepat mengadopsi QRIS:
Praktis dan cepat – Tidak perlu menghitung kembalian, transaksi bisa selesai dalam hitungan detik.
Mengurangi risiko uang hilang atau salah hitung – Semua transaksi tercatat otomatis di sistem.
Meningkatkan kepercayaan konsumen – Pembeli merasa lebih nyaman bertransaksi tanpa uang tunai, terutama mahasiswa yang terbiasa cashless.
Mendukung pembukuan sederhana – Riwayat transaksi dapat dijadikan dasar laporan harian atau pengajuan modal usaha.
Biaya rendah – Dengan MDR (merchant discount rate) kecil, pedagang tidak terbebani biaya besar untuk setiap transaksi.
Tantangan yang Masih Ada
Meski trennya positif, tidak semua pedagang langsung nyaman menggunakan QRIS. Beberapa tantangan yang masih ditemui di lapangan antara lain:
Literasi digital yang terbatas. Pedagang yang belum terbiasa dengan aplikasi perbankan cenderung ragu untuk beralih.
Kendala perangkat. Masih ada pedagang yang belum memiliki smartphone yang memadai.
Keterlambatan dana masuk. Walau relatif jarang, kasus pembayaran tertunda masih terjadi.
Kekhawatiran soal keamanan. Beberapa pedagang masih waspada terhadap potensi penipuan seperti bukti transfer palsu.
Namun, seiring waktu, hambatan ini semakin berkurang berkat sosialisasi, edukasi, dan pengalaman langsung pedagang.
Data Pertumbuhan QRIS
Mengacu pada data Bank Indonesia (BI), transaksi QRIS di Indonesia tumbuh luar biasa. Per Juli 2025, tercatat pertumbuhan 162% year-on-year (YoY). Angka ini mencerminkan semakin luasnya penerimaan masyarakat terhadap sistem pembayaran digital.
Tidak hanya di kota besar, lonjakan juga terasa di daerah kampus seperti Jatinangor. Padatnya populasi mahasiswa, tingginya mobilitas ekonomi, dan kebutuhan transaksi cepat mendorong penetrasi QRIS yang signifikan di kawasan ini.
Selain itu, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga terus memperkuat program literasi keuangan digital dan inklusi keuangan, salah satunya dengan mendorong penggunaan QRIS oleh UMKM.
Dampak Positif Bagi Ekonomi Lokal
Penerapan QRIS yang semakin luas di Jatinangor membawa sejumlah dampak positif:
Percepatan arus transaksi. Antrian lebih cepat terurai di warung, kedai kopi, maupun toko modern.
Peningkatan omzet. Pedagang bisa melayani lebih banyak pelanggan di jam sibuk.
Transparansi usaha. Transaksi yang tercatat membantu pedagang kecil dalam pengelolaan keuangan.
Akses ke permodalan. Catatan transaksi digital memudahkan UMKM untuk mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan.
Ekosistem digital kampus. Mahasiswa terbiasa dengan pola cashless, sehingga membentuk kebiasaan baru yang mendukung digitalisasi ekonomi.
Konsumen Juga Diuntungkan
Bagi konsumen, terutama mahasiswa, penggunaan QRIS juga memberikan kenyamanan:
Tidak perlu membawa uang tunai dalam jumlah besar.
Lebih aman, karena risiko kehilangan uang berkurang.
Lebih praktis, cukup gunakan satu aplikasi untuk semua merchant.
Lebih cepat, cocok dengan gaya hidup mahasiswa yang serba dinamis.
Kebiasaan ini memperlihatkan bahwa QRIS bukan sekadar alat bayar, tetapi sudah menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari.
Arah ke Depan
Dengan semakin meluasnya penggunaan QRIS, Jatinangor berpotensi menjadi contoh sukses ekosistem kampus cashless di Indonesia. Pemerintah dan otoritas keuangan diprediksi akan terus memperluas layanan QRIS, termasuk fitur baru seperti QRIS Tuntas (transfer, tarik/setor tunai) dan QRIS Cross-Border yang bisa dipakai lintas negara.
Selain itu, dengan dukungan jaringan internet yang semakin stabil, jumlah pedagang yang beralih ke QRIS di daerah seperti pasar tradisional diperkirakan akan terus bertambah.
Kesimpulan
Fenomena QRIS marak di Jatinangor menunjukkan perubahan besar dalam cara masyarakat bertransaksi. Dari warung kecil hingga toko modern, para pedagang mulai merasakan manfaat transaksi nontunai: lebih cepat, aman, dan efisien. Sementara itu, konsumen terutama mahasiswa semakin terbiasa dengan pola cashless yang sesuai dengan gaya hidup mereka.
Meskipun masih ada tantangan seperti literasi digital dan kendala perangkat, tren ini jelas tidak bisa dibendung. Dengan dukungan pemerintah, perbankan, dan penyelenggara sistem pembayaran, QRIS diperkirakan akan terus menjadi tulang punggung transaksi digital, tidak hanya di kota besar, tetapi juga di kawasan pendidikan seperti Jatinangor.
QRIS bukan lagi sekadar opsi pembayaran, melainkan sudah menjadi kebutuhan di era digital.